Semua orang punya prioritasnya masing-masing. Dan tidak ada yang bisa mengubah atau mempengaruhi keputusan seseorang untuk memilih apa yang menjadi prioritasnya.
Lately,,, tanpa bermaksud menggalau, aku sedang diuji mengenai prioritasku. Dan itu bukan memilih antara sepatu hitam atau biru donker, yang jelas-jelas beda tipis. Dan bukan juga memilih marah atau diam.
Kali ini, aku diuji mengenai prioritasku tentang mendahulukan apa yang Tuhan mau, atau apa yang kurasa benar dan sebelumnya selalu kulakukan.
I was born to be tipically over thinking person. Aku memikirkan segala sesuatu jauuuuuh ke depan. Memikirkan segala resiko ke kanan kiri depan belakang atas bawah.
Pastinya hal itu akan berlawanan dengan kebanyakan orang yang kebetulan ada di dalam hidupku, dan dekat di hatiku. Dan menghadapi orang-orang yang menggampangkan (bagiku), yang tidak peduli, yang santai, yang menyepelekan, yang suka menjadi pusat perhatian, yang jarang serius, dan bertindak sebelum berpikir, yang biasa menjadi pusat perhatian, dll, dsb, dst,, sangat sulit!!
Bagiku sangat sulit untuk tidak menjadi reaktif. Cos I used to think about what others feel about what i did. So i hate when people dont think about what i feel when they wanna do something. Sangat logis kan?
Lagi-lagi.... ini masalah prioritas. And I cant push someone to prioritize what i feel. (Or what i think is right.).
Dan aku memilih untuk memprioritaskan apa yang Tuhan mau aku lakukan. Menjadi tidak reaktif dan lebih responsif. Menjadi lebih cerdas dalam menyikapi perasaan kecewa dan mengubahnya menjadi ucapan syukur. Menjadi lebih positif dalam melihat segala sesuatu.
Karena bahagiaku bukan ditentukan oleh apa yang kumiliki atau memilikiku. Bukan pula ditentukan oleh mampu atau tidaknya aku melakukan segala sesuatu. Terlebih lagi bukan ditentukan oleh ada atau tidaknya segala sesuatu yang -fana-.
Aku, dengan Tuhan-ku. Selayaknya, cukup.